Kepada
Bapak Dahlan Iskan CEO Jawa Pos Grup dan Menteri BUMN
Yang paling saya hormati
Assalamualaikum Wr. Wb. Bagaimana keadaan Bapak hari ini? Semoga selalu
diberi limpahan sehat dan karunia dari Allah SWT. Pertama-tama saya akan
memperkenalkan diri saya terlebih dahulu. Siapa saya? Berani-beraninya orang
kecil seperti saya menulis surat untuk orang yang paling terhormat dan disegani
di Negara Indonesia ini. Saya hanyalah seorang mahasiswi Universitas Negeri
Malang. Saya mengambil jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar. Saya tinggal di
desa kecil di daerah Probolinggo atau disebut juga Kota Mangga. Kapan-kapan Pak
Dahlan jika pergi jalan-jalan bisa mampir ke Gunung Bromo, dekat dengan rumah
saya Pak.
Pak… saya adalah penggemar setia Bapak. Saya menjadi penggemar setia bapak
memiliki sebab dan alasan. Saya akui saya juga belum lama mengenal bapak. Tapi
saya merasa sudah bertahun-tahun mengenal bapak karena ke Pada awalnya saya membuka
internet untuk mencari pngobatan dan penanganan untuk penderita hepatitis B
kronis. Ketika saya membuka terdapat artikel yang memuat tentang Bapak Dahlan
Ishkan. Kemudian saya mencari buku Bapak yang berjudul “Ganti Hati” dan mulai
membacanya. Sampai saat saya menulis surat untuk Bapak, saya membaca buku bapak lebih dari lima kali. Saya juga aktif mengikuti
blog Bapak, Catatan Dahlan Iskan. Bagian yang paling saya suka pada buku Bapak adalah
ketika Bapak menggambarkan kamar rumah sakit yang Bapak tempati di Tiongkok.
Kamar rumah sakit yang begitu indah dan menyenangkan melebihi kamar hotel
berbintang.. itu lah yang ada dalam pikiran saya.
Tentu saja ada sedikit pikiran yang terlintas pula untuk membandingkan
kamar yang terdapat di kelas 1 Rumah sakit yang di tempati ayah saya dengan
kamar Rumah sakit yang ditempati Bapak. Definisinya kamar yang di tempati ayah
ukuran 6 x 3 dan itu di sekat jadi 2. Kamar mandi hanya 1 untuk 2 kamar, jadi 1
kamar mandi untuk 4 pasien. Padahal itu sudah kelas 1, apalagi kelas 2 dan 3.
Ayah yang sedikit mengeluh karena sempitnya kamar itu, saya hanya menjawab
“makanya pak, orang miskin itu di larang sakit”. Sedikit ironis memang, tapi
keluarga saya bukan keluarga miskin kok pak, keluarga saya keluarga sederhana.
Ayah saya adalah seorang pensiunan guru, ibu saya seorang pedagang di desa
tempat saya tinggal. Mas saya yang pertama mengidap penyakit syaraf, kata dokter
penyakitnya tidak mungkin bisa sembuh. Dan sekarang mas saya berada di rumah,
di tahan dalam kamar dan dikunci rapat sehingga tidak bisa lari ke sana kemari
ngamuk-ngamuk dan merusak barang. Mbak saya seorang guru SMP, sudah pernah
menikah dan cerai. Mas saya yang satunya juga seorang guru dan sudah menikah,
namun belum di angkat jadi PNS, tahun ini tahun ke delapannya menjadi guru GTT.
Saya tidak pernah mengeluh dengan keadaan keluarga saya, sedikit amburadul tapi
masih banyak yang jauh lebih amburadul di bawah sana.
Saya menulis surat ini ketika saya berada di samping kamar mandi rumah
sakit. Sebenarnya saya tidak berani menulis surat seperti ini kepada Bapak
Dahlan Ishkan, kenapa? Karena seperti orang yang putus asa dan mengharap
pemberian orang lain. Tapi apalah daya, ini memang suatu keadaan keputus asa
an. Izinkan saya menceritakan tentang penyakit ayah saya kepada Bapak Dahlan
Ishkan. Entah bapak tertarik atau tidak, saya tetap akan bercerita karena
harapan saya hanya dari surat ini.
Bapak saya sudah divonis memiliki penyakit hepatitis B sejak 20 tahun yang
lalu. Namun karena bapak bukan orang pintar, bapak tidak menindak lanjuti
penyakitnya. Hanya sekedar tahu saja. Tahun 2004 ayah masuk rumah sakit di
daerah Probolinggo. Hepatitisnya sudah mencapai tahap kronis. Saat itu saya
masih duduk di kelas 6 SD, masih belum tahu apa yang harus saya lakukan untuk
ayah saya, seperti apa penyakit hepatitis B kronis itu. 1 bulan lamanya ayah di
rumah sakit akhirnya sembuh. Dan dibawa pulang kembali ke rumah. Saat itu bapak
mengajukan pensiun dini, karena ayah sudah beberapa bulan sering tidak masuk
mengajar dan juga tidak enak sama temannya yang sering menggantikan.
Selama hampir 10 tahun ayah bekerja membantu ibu di rumah, menyetir untuk
kulak’an ibu dan angkat-angkat barang di toko. Pekerjaan yang sulit untuk orang
yang sudah umur di atas 60 tahun. Ayah ingin semua anaknya bisa meraih gelar
sarjana dan satu hal yang di cita-cita kan ayah sejak dahulu adalah naik haji. Tahun
2009 lalu ayah sudah mendaftarkan diri untuk haji, kata ayah nanti tahun 2015
ayah akan berangkat haji.Harapan itu mulai sirnah ketika awal januari 2013,
tubuh ayah tiba-tiba kelelahan dan mulai menguning. Padahal sebelumnya ayah
tidak merasakan gejala apa-apa. Di bawalah ayah ke dokter spesialis dalam yang
dulu pernah menangani ayah. Katanya hepatitis ayah kumat, akhirnya ayah opname
di rumah sakit di daerah probolinggo. Namun keadaan ayah terus menurun, sehari
naik sedikit, 2 hari turun sekali. Dokter hanya memberi obat-obatan untuk
livernya bapak dan obat untuk kencing, karena cairan dalam perut ayah mulai
banyak yang membuat perutnya makin membesar. Efek dari perut membesar, ayah
jadi tidak pernah selera makan, mual-mual dan semakin lemas. Apalagi tiap jam
ayah selalu kencing, sehingga keadaannya smekain menurun. 13 hari di rumah
sakit tidak membaik akhirnya dibawa pulang dan mengkonsumsi obat jalan dari
dokter.
Beberapa hari di rumah, ayah semakin menurun keadaannya, ayah pun dibawa ke
Rumah Sakit Syaiful Anwar di Kota Malang dengan harapan dapat bertemu dengan
dokter spesialis hepatologi, agar ayah dapat ditangani dengan baik. Namun Tuhan
berkata lain, ayah ditempatkan di kelas 1, di kelas 1 ini ayah tidak
diperbolehkan memilih dokter, hanya bisa berkomunikasi dengan dokter jaga.
Pernah sekali datang dokter spesialis dalam dan memvonis ayah sudah mencapai
taha sirosis hati. Dokter itu memvonis ayah di depan ayah tanpa persetujuan
keluarga. Setelah mendengar vonis dari dokter tersebut, ayah semakin drop dan
memburuk. Obat-obat dari dokter hanya obat generik yang sama sekali tidak
membuat keadaan ayah lebih baik. Ayah juga sulit tidur karena suasana di kelas
1 kurang mendukung untuk ayah istirahat.
Akhirnya keluarga memutuskan untuk pindah ke paviliun, yang katanya di
pavilion bisa memilih dokter spesialis hepatologi. Setelah 6 hari di kelas 1
dan menunggu kamar kosong di paviliun, keadaana ayah memburuk hingga tidak
sadarkan diri. Setelah tidak sadarkan diri, pribadi ayah berubah. Sebelumnya
ayah bukan orang yang suka bicara, tetapi sekarang ayah jadi suka bicara.
Bicaranya sedikit ngelantur dan sering membahas masalah-masalah di masa lalu.
Melihat kondisi ayah yang seperti ini, saya dan keluarga sering menangis dan
mencoba menegarkan diri. Karena bagaimana pun penyakit ayah tidak akan mungkin
bisa sembuh, kecuali dengan tranplantasi seperti yang Bapak Dahlan lakukan.
Pada hari ke tujuh ayah mulai pindah di paviliun dan mulai di tangani oleh
dokter hepatologi. Namun pernyataan dokter kepada keluarga kami semakin membuat
kami syok dan terlampau sedih. Kata dokter penyakit ayah tidak sederhana,
sirosis hatinya sudah mencapai tahap kronis dan sudah menjalar ke ginjal ayah
dan direncanakan untuk cuci darah. Selain itu pada tes darah sudah ditemukan
maker-maker sel ganas. Mulai besoknya ayah harus menjalani cuci darah. Ayah
sama sekali tidak tahu tentang kondisinya saat ini. Ayah selalu tersenyum dan
membicarakan angan-angannya untuk pergi naik haji. Kami anaknya tidak tega
untuk mengabarkan hal yang buruk seperti ini padanya. Kondisinya ketika saya
menulis surat ini, sangat tidak baik, sudah 1 bulan ayah tidak makan nasi,
sehari hanya makan bubur 3 sendok. Bicaranya sudah terbata-bata, tidak bisa
jalan, duduk saja tidak mampu.
Sampai malam tadi saya berhalusinasi, andai memiliki mesin waktu, saya
ingin kembali pada waktu 5 tahun lalu dan mengajak bapak untuk berobat agar
terjadi hal seburuk ini. Saya juga berhalusinasi, andai saya memiliki kekuatan
seperti avatar yang hanya dengan komat-kamit bisa menyembuhkan segalan penyakit
bapak. Saya berkhayal punya uang sebanyak Bapak Dahlan dan bisa membawa ayah ke
tiongkok buat transplantasi hatinya. Ketika saya bangun pagi hari tadi saya
menangis sesenggukkan, karena peristiwa sebulan ini bukan mimpi dan ini adalah
kenyataan. Kenyataan bahwa ayah saya tidak dapat disembuhkan. Ayah saya berada
dalam fase kritis. Harapan ayah saya untuk naik haji harus di’stop’.
Maaf cerita saya terlalu panjang dan lebar. Surat ini adalah harapan
terakhir saya. Tidak memungkiri dan tidak munafik saya menulis surat ini kepada
Bapak Dahlan untuk meminta bantuan agar dapat memeperbaiki keadaan ayah. Saya
tidak meminta Bapak membiayai cangkok hati ayah, itu terlalu tinggi
permintaannya. Saya hanya meminta Bapak berdo’a untuk kesembuhan ayah saya.
Karena hanya mukzizatlah yang mampu menyembuhkan ayah saya. Dari do’a lah semua
akan terasa lebih ringan karena Allah selalu memberikan yang terbaik untuk
umatnya dan hanya Allah yang dapat mengubah takdir manusia.
Terima kasih Bapak sudah mau membaca surat dari saya yang amburadul
kata-katanya. Saya bukan penulis yang pandai seperti Bapak Dahlan. “Kaya
bermanfaat, Miskin bermartabat” itulah yang sering saya ingat tiap kali tamat
membaca buku Bapak. Entah kenapa itu yang nyantol. Saya salut sama Bapak Dahlan
yang mampu bertahan dan memotivasi diri sendiri hingga bisa hidup sampai sejauh
ini. Terima kasih bapak, suatu kehormatan tulisan saya dibaca oleh Bapak
menteri BUMN dan CEO Jawa Pos Group. Namun jika berkenan saya ingin bapak
membalas surat saya ini. Hanya beberapa kata saja tidak apa. Demikian curhatan
dari saya. saya di sini selalu berdo’a agar Bapak selalu sukses dan bahagia.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Malang, 5 Februari 2013
Penggemar setia Bapak Dahlan Iskan
Dyah Anggraini.