Welcome to My Blog ^^

Senin, 04 Februari 2013

surat harapan terakhir


Kepada
Bapak Dahlan Iskan CEO Jawa Pos Grup dan Menteri BUMN
Yang paling saya hormati

Assalamualaikum Wr. Wb. Bagaimana keadaan Bapak hari ini? Semoga selalu diberi limpahan sehat dan karunia dari Allah SWT. Pertama-tama saya akan memperkenalkan diri saya terlebih dahulu. Siapa saya? Berani-beraninya orang kecil seperti saya menulis surat untuk orang yang paling terhormat dan disegani di Negara Indonesia ini. Saya hanyalah seorang mahasiswi Universitas Negeri Malang. Saya mengambil jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar. Saya tinggal di desa kecil di daerah Probolinggo atau disebut juga Kota Mangga. Kapan-kapan Pak Dahlan jika pergi jalan-jalan bisa mampir ke Gunung Bromo, dekat dengan rumah saya Pak.

Pak… saya adalah penggemar setia Bapak. Saya menjadi penggemar setia bapak memiliki sebab dan alasan. Saya akui saya juga belum lama mengenal bapak. Tapi saya merasa sudah bertahun-tahun mengenal bapak karena ke Pada awalnya saya membuka internet untuk mencari pngobatan dan penanganan untuk penderita hepatitis B kronis. Ketika saya membuka terdapat artikel yang memuat tentang Bapak Dahlan Ishkan. Kemudian saya mencari buku Bapak  yang berjudul “Ganti Hati” dan mulai membacanya. Sampai saat saya menulis surat untuk Bapak, saya membaca buku bapak lebih dari lima kali. Saya juga aktif mengikuti blog Bapak, Catatan Dahlan Iskan. Bagian yang paling saya suka pada buku Bapak adalah ketika Bapak menggambarkan kamar rumah sakit yang Bapak tempati di Tiongkok. Kamar rumah sakit yang begitu indah dan menyenangkan melebihi kamar hotel berbintang.. itu lah yang ada dalam pikiran saya.

Tentu saja ada sedikit pikiran yang terlintas pula untuk membandingkan kamar yang terdapat di kelas 1 Rumah sakit yang di tempati ayah saya dengan kamar Rumah sakit yang ditempati Bapak. Definisinya kamar yang di tempati ayah ukuran 6 x 3 dan itu di sekat jadi 2. Kamar mandi hanya 1 untuk 2 kamar, jadi 1 kamar mandi untuk 4 pasien. Padahal itu sudah kelas 1, apalagi kelas 2 dan 3. Ayah yang sedikit mengeluh karena sempitnya kamar itu, saya hanya menjawab “makanya pak, orang miskin itu di larang sakit”. Sedikit ironis memang, tapi keluarga saya bukan keluarga miskin kok pak, keluarga saya keluarga sederhana. Ayah saya adalah seorang pensiunan guru, ibu saya seorang pedagang di desa tempat saya tinggal. Mas saya yang pertama mengidap penyakit syaraf, kata dokter penyakitnya tidak mungkin bisa sembuh. Dan sekarang mas saya berada di rumah, di tahan dalam kamar dan dikunci rapat sehingga tidak bisa lari ke sana kemari ngamuk-ngamuk dan merusak barang. Mbak saya seorang guru SMP, sudah pernah menikah dan cerai. Mas saya yang satunya juga seorang guru dan sudah menikah, namun belum di angkat jadi PNS, tahun ini tahun ke delapannya menjadi guru GTT. Saya tidak pernah mengeluh dengan keadaan keluarga saya, sedikit amburadul tapi masih banyak yang jauh lebih amburadul di bawah sana.

Saya menulis surat ini ketika saya berada di samping kamar mandi rumah sakit. Sebenarnya saya tidak berani menulis surat seperti ini kepada Bapak Dahlan Ishkan, kenapa? Karena seperti orang yang putus asa dan mengharap pemberian orang lain. Tapi apalah daya, ini memang suatu keadaan keputus asa an. Izinkan saya menceritakan tentang penyakit ayah saya kepada Bapak Dahlan Ishkan. Entah bapak tertarik atau tidak, saya tetap akan bercerita karena harapan saya hanya dari surat ini.
Bapak saya sudah divonis memiliki penyakit hepatitis B sejak 20 tahun yang lalu. Namun karena bapak bukan orang pintar, bapak tidak menindak lanjuti penyakitnya. Hanya sekedar tahu saja. Tahun 2004 ayah masuk rumah sakit di daerah Probolinggo. Hepatitisnya sudah mencapai tahap kronis. Saat itu saya masih duduk di kelas 6 SD, masih belum tahu apa yang harus saya lakukan untuk ayah saya, seperti apa penyakit hepatitis B kronis itu. 1 bulan lamanya ayah di rumah sakit akhirnya sembuh. Dan dibawa pulang kembali ke rumah. Saat itu bapak mengajukan pensiun dini, karena ayah sudah beberapa bulan sering tidak masuk mengajar dan juga tidak enak sama temannya yang sering menggantikan.

Selama hampir 10 tahun ayah bekerja membantu ibu di rumah, menyetir untuk kulak’an ibu dan angkat-angkat barang di toko. Pekerjaan yang sulit untuk orang yang sudah umur di atas 60 tahun. Ayah ingin semua anaknya bisa meraih gelar sarjana dan satu hal yang di cita-cita kan ayah sejak dahulu adalah naik haji. Tahun 2009 lalu ayah sudah mendaftarkan diri untuk haji, kata ayah nanti tahun 2015 ayah akan berangkat haji.Harapan itu mulai sirnah ketika awal januari 2013, tubuh ayah tiba-tiba kelelahan dan mulai menguning. Padahal sebelumnya ayah tidak merasakan gejala apa-apa. Di bawalah ayah ke dokter spesialis dalam yang dulu pernah menangani ayah. Katanya hepatitis ayah kumat, akhirnya ayah opname di rumah sakit di daerah probolinggo. Namun keadaan ayah terus menurun, sehari naik sedikit, 2 hari turun sekali. Dokter hanya memberi obat-obatan untuk livernya bapak dan obat untuk kencing, karena cairan dalam perut ayah mulai banyak yang membuat perutnya makin membesar. Efek dari perut membesar, ayah jadi tidak pernah selera makan, mual-mual dan semakin lemas. Apalagi tiap jam ayah selalu kencing, sehingga keadaannya smekain menurun. 13 hari di rumah sakit tidak membaik akhirnya dibawa pulang dan mengkonsumsi obat jalan dari dokter.

Beberapa hari di rumah, ayah semakin menurun keadaannya, ayah pun dibawa ke Rumah Sakit Syaiful Anwar di Kota Malang dengan harapan dapat bertemu dengan dokter spesialis hepatologi, agar ayah dapat ditangani dengan baik. Namun Tuhan berkata lain, ayah ditempatkan di kelas 1, di kelas 1 ini ayah tidak diperbolehkan memilih dokter, hanya bisa berkomunikasi dengan dokter jaga. Pernah sekali datang dokter spesialis dalam dan memvonis ayah sudah mencapai taha sirosis hati. Dokter itu memvonis ayah di depan ayah tanpa persetujuan keluarga. Setelah mendengar vonis dari dokter tersebut, ayah semakin drop dan memburuk. Obat-obat dari dokter hanya obat generik yang sama sekali tidak membuat keadaan ayah lebih baik. Ayah juga sulit tidur karena suasana di kelas 1 kurang mendukung untuk ayah istirahat.

Akhirnya keluarga memutuskan untuk pindah ke paviliun, yang katanya di pavilion bisa memilih dokter spesialis hepatologi. Setelah 6 hari di kelas 1 dan menunggu kamar kosong di paviliun, keadaana ayah memburuk hingga tidak sadarkan diri. Setelah tidak sadarkan diri, pribadi ayah berubah. Sebelumnya ayah bukan orang yang suka bicara, tetapi sekarang ayah jadi suka bicara. Bicaranya sedikit ngelantur dan sering membahas masalah-masalah di masa lalu. Melihat kondisi ayah yang seperti ini, saya dan keluarga sering menangis dan mencoba menegarkan diri. Karena bagaimana pun penyakit ayah tidak akan mungkin bisa sembuh, kecuali dengan tranplantasi seperti yang Bapak Dahlan lakukan.

Pada hari ke tujuh ayah mulai pindah di paviliun dan mulai di tangani oleh dokter hepatologi. Namun pernyataan dokter kepada keluarga kami semakin membuat kami syok dan terlampau sedih. Kata dokter penyakit ayah tidak sederhana, sirosis hatinya sudah mencapai tahap kronis dan sudah menjalar ke ginjal ayah dan direncanakan untuk cuci darah. Selain itu pada tes darah sudah ditemukan maker-maker sel ganas. Mulai besoknya ayah harus menjalani cuci darah. Ayah sama sekali tidak tahu tentang kondisinya saat ini. Ayah selalu tersenyum dan membicarakan angan-angannya untuk pergi naik haji. Kami anaknya tidak tega untuk mengabarkan hal yang buruk seperti ini padanya. Kondisinya ketika saya menulis surat ini, sangat tidak baik, sudah 1 bulan ayah tidak makan nasi, sehari hanya makan bubur 3 sendok. Bicaranya sudah terbata-bata, tidak bisa jalan, duduk saja tidak mampu.

Sampai malam tadi saya berhalusinasi, andai memiliki mesin waktu, saya ingin kembali pada waktu 5 tahun lalu dan mengajak bapak untuk berobat agar terjadi hal seburuk ini. Saya juga berhalusinasi, andai saya memiliki kekuatan seperti avatar yang hanya dengan komat-kamit bisa menyembuhkan segalan penyakit bapak. Saya berkhayal punya uang sebanyak Bapak Dahlan dan bisa membawa ayah ke tiongkok buat transplantasi hatinya. Ketika saya bangun pagi hari tadi saya menangis sesenggukkan, karena peristiwa sebulan ini bukan mimpi dan ini adalah kenyataan. Kenyataan bahwa ayah saya tidak dapat disembuhkan. Ayah saya berada dalam fase kritis. Harapan ayah saya untuk naik haji harus di’stop’.

Maaf cerita saya terlalu panjang dan lebar. Surat ini adalah harapan terakhir saya. Tidak memungkiri dan tidak munafik saya menulis surat ini kepada Bapak Dahlan untuk meminta bantuan agar dapat memeperbaiki keadaan ayah. Saya tidak meminta Bapak membiayai cangkok hati ayah, itu terlalu tinggi permintaannya. Saya hanya meminta Bapak berdo’a untuk kesembuhan ayah saya. Karena hanya mukzizatlah yang mampu menyembuhkan ayah saya. Dari do’a lah semua akan terasa lebih ringan karena Allah selalu memberikan yang terbaik untuk umatnya dan hanya Allah yang dapat mengubah takdir manusia.

Terima kasih Bapak sudah mau membaca surat dari saya yang amburadul kata-katanya. Saya bukan penulis yang pandai seperti Bapak Dahlan. “Kaya bermanfaat, Miskin bermartabat” itulah yang sering saya ingat tiap kali tamat membaca buku Bapak. Entah kenapa itu yang nyantol. Saya salut sama Bapak Dahlan yang mampu bertahan dan memotivasi diri sendiri hingga bisa hidup sampai sejauh ini. Terima kasih bapak, suatu kehormatan tulisan saya dibaca oleh Bapak menteri BUMN dan CEO Jawa Pos Group. Namun jika berkenan saya ingin bapak membalas surat saya ini. Hanya beberapa kata saja tidak apa. Demikian curhatan dari saya. saya di sini selalu berdo’a agar Bapak selalu sukses dan bahagia. Wassalamualaikum Wr. Wb.

Malang, 5 Februari 2013
Penggemar setia Bapak Dahlan Iskan



Dyah Anggraini.